Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan HAM RI, Dr. Freddy Harris, S.H.,LL.M. ACCS.
Keluarnya PP 56 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/Musik menimbulkan pro kontra. Apa titik berat pro kontra itu? Belum atau belagak tak paham atau memang tak mau membayar.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/Musik. Dalam aturan itu, seseorang yang menggunakan lagu dan/musik secara komersial atau layanan publik wajib membayar royalti.
Ada 14 jenis layanan publik bersifat komersial yang wajib membayar royalti lagu, di antaranya hotel, restoran, bank, kantor, hingga usaha karaoke. Royalti ini akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/musik serta musisi melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Bagaimana mekanisme penarikan dan pendistribusian royalti ini? Penghimpunan royalti dilakukan LMKN yang merupakan lembaga bantu pemerintah non APBN yang mendapatkan kewenangan atribusi dari Undang-Undang Hak Cipta untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/musik.
Jika bicara lagu dan/atau musik, hal ini merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi dalam UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Musik atau lagu dikategorikan sebagai ciptaan yang dilindungi, memiliki hak ekonomi bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk melakukan penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, penerjemahan ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan atau pentransformasian ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, komunikasi ciptaan dan penyewaan ciptaan.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pengumuman ciptaan adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku pertunjukan ciptaan ialah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukan suatu ciptaan.
Berdasarkan definisi di atas, kegiatan memutarkan musik melalui multimedia termasuk pengumuman ciptaan, sedangkan band yang memainkan live music termasuk pertunjukan ciptaan. Keduanya merupakan hak ekonomi yang dimiliki pencipta dan pemegang hak cipta atas lagu/musik yang dimainkan tersebut.
Pertanyaannya yang kerap muncul, terutama dari pengusaha yang bergerak dalam 14 jenis layanan publik bersifat komersial, wajibkah mereka membayar royalti?
Pasal 2 ayat (1) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik mengatur pertunjukan, pengumuman, dan komunikasi ciptaan baik dalam bentuk analog dan digital sebagai kegiatan yang termasuk ke dalam penggunaan layanan publik yang bersifat komersial untuk pencipta dan pemegang hak cipta.
Setiap orang dapat menggunakan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti ke pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN cara detil, bentuk layanan publik yang bersifat komersial meliputi: seminar dan konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotek, konser musik, pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut, pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank dan kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi, lembaga penyiaran radio, hotel, kamar hotel, fasilitas hotel dan usaha karaoke.
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Jika menilik pada Pasal 9, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Hak Cipta, disebutkan pihak-pihak yang akan melakukan komersialisasi atas suatu ciptaan maupun produk hak terkait harus meminta izin kepada pencipta/pemegang hak cipta atau pemilik produk tersebut. UU Hak Cipta ini, kata Freddy, menjamin hak ekonomi dan hak moral dari pencipta atau pemegang hak cipta, serta pemilik produk hak terkait.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk dapat melakukan pertunjukan dan pengumuman lagu dan/atau musik di restoran dan kafe, pada dasarnya wajib membayar royalti.
Lantas, siapakah yang wajib membayar royalti? Dalam hal restoran dan kafe mengadakan pertunjukan live music, pemilik restoran harus memastikan terlebih dahulu apakah band yang akan tampil tersebut sudah mengurus royalti hak cipta dari lagu-lagu yang akan dinyanyikannya.
Jika sudah dilakukan oleh band, maka tanggung jawab untuk membayar royalti tersebut sepenuhnya ada pada band sebagai pelaku pertunjukan (performer). Tapi, jika pengurusan royalti belum dilakukan, maka harus ditegaskan dalam kontrak antara restoran dan kafe dengan band mengenai siapa yang akan membayar royalti, apakah pihak restoran, pihak band, atau dibayar bersama-sama. Sedangkan dalam hal restoran/kafe memperdengarkan rekaman lagu dan/atau musik, maka Anda sebagai pemilik restoran/kafe wajib membayar royalti tersebut.
Perlu dicatat, pengguna yang tidak terikat perjanjian lisensi tetap wajib membayar royalti melalui LMKN setelah penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial. Selain itu, bagi pelaku usaha mikro, diberikan keringanan tarif royalti yang ditetapkan oleh Menkumham.
Penguatan Hak Cipta
Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham, Freddy Harris menegaskan, adanya PP ini untuk menguatkan Undang-Undang lagu ini siapa yang membuatnya, yang sampai kiamat pun tidak boleh berubah. Sementara hak ekonomi adalah soal nilai komersialnya. Ini menegakkan fairness, transparansi, dan akuntabilitas,” kata Freddy.
Ia menegaskan, PP tentang royalti hak cipta lagu ini untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta dan pengelolaan layanan publik bersifat komersial dalam bentuk analog dan digital. Keluarnya PP ini menimbulkan pro dan kontra, bahkan dari sisi musisi yang seharusnya merasa diuntungkan dengan keluarnya PP ini. Kontra juga datang dari pengusaha yang notabene pihak yang dikutip royalti ini.
Once Mekel, mantan vokalis band Dewa sempat memaparkan banyaknya perspektif optimis dan pesimis yang dialami rekan sesama artis atas keluarnya PP ini.
“Secara umum memang ada pendapat yang cukup pesimistik dan optimistik terhadap PP 56 ini, kalau dari pandangan beberapa artis PP 56 ini bisa di katakan punya pandangan yang sedikit pesimistik, ini bener-benar bisa berfungsi atau nggak, dan itu wajar karena artis banyak yang kurang menekuni apa yang ada dalam royalti ini dan trauma dari masa lalu,” ungkap Once saat berbicara dalam virtual Zoom di UPH bertajuk ‘Diskusi Artis dan Akademisi Menyikapi Royalti Musik Dalam Persepsi Musisi dan Akademisi’, Kamis (15/4). Namun, imbuhnya, di sisi lain banyak artis dan musisi menanggapi hal ini akan memberikan dampak positif bagi industri musik tanah air.
“Banyak juga ada yang menanggapi positif, PP 56 ini sangat positif artinya mereka percaya PP ini menjadi peraturan pemerintah yang benar-benar bisa melaksanakan amanat UU No 28/2014 dengan penyesuaian-penyesuaian yang ada di dalamnya,” kata Once.
Sedangkan Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran menyatakan, kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran lagu atau musik sebetulnya bukan hal baru. Asosiasi sudah melakukan pembayaran sejak 2016 yang tertuang dalam kesepakatan dengan LMKN. Namun di PP yang baru ini, banyak hal yang masih menjadi pertanyaan PHRI. Pasalnya, dalam PP 56 ini, hotel dan restoran kemudian dianggap memiliki nilai komersil yang sama dengan layanan seperti usaha karaoke yang memang menggunakan musik. Sehingga, konsekuensi yang bisa muncul adalah pembayaran royalti dari hotel dan restoran bisa menjadi lebih besar dibandingkan nilai kesepakatan dengan LMKN di 2016.
Namun, Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Adi Adrian mengaku telah selesai mempersiapkan kode etik dan tata cara pengelolaan internal. Salah satunya, penggunaan satu rekening untuk penghimpunan tarif royalti. Kemudian, dalam dua tahun depan, LMKN dikatakannya akan menyelesaikan pusat data yang akan menjadi rujukan.
Usai membaca sekilas, royalti lagu terlihat bikin semuanya jadi ribet. Jawabannya, memang. Tapi sebenarnya di luar sana, hal seperti ini sudah lazim karena ide dan karya memang sudah seharusnya dihargai.
Disarikan dari FORUM Keadilan: No. 02, 29 Mei 2021