Jakarta, 16 Januari 2025 – Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang merupakan lembaga bantu negara non-APBN mengadakan Rapat Koordinasi dan Evaluasi Kinerja pada awal tahun 2025 ini. Kegiatan rapat yang diadakan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja dan pencapaian, serta merencanakan program-program LMKN di masa akan datang.
LMKN menyampaikan bahwa selama tahun 2024 telah menghimpun sekitar Rp7.153.709.254, yang mana total pencapaian tersebut merupakan pencapaian tertinggi sejak LMKN berdiri. Dalam acara diskusi yang digelar LMKN dengan mengusung tajuk ‘Persatuan dan Kolaborasi Stakeholders LMKN dalam Ekosistem Royalti Lagu dan/atau Musik’ di Hotel Westin, Jakarta Selatan, sempat disinggung soal uang royalti unclaim pada laman YouTube. Johnny Maukar, mewakili LMKN berdiskusi sekaligus berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Bapak Ir. Razilu untuk segera menarik royalti unclaim dari YouTube yang angkanya diprediksi cukup besar.
Royalti unclaim yang mengendap di YouTube sejak sekitar 2 (dua) tahun belakangan disebabkan pencipta lagu atau pemilik hak cipta yang belum bergabung dalam LMK, karena merujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, bahwa Pencipta dan atau Pemegang Hak Cipta harus tergabung dalam LMK untuk mendapatkan hak ekonominya dalam bentuk royalti.
Namun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2021, LMKN diberikan tugas dan wewenang untuk menghimpun royalti atas penggunaan lagu dan/atau musik karya cipta baik anggota maupun bukan anggota LMK. Dengan demikian, LMKN berharap YouTube dapat mendistribusikan royalti digital untuk pencipta lagu yang belum menjadi anggota LMK, yang sebelumnya disimpan sebagai dana unclaim selama sekitar 2 tahun kebelakang.
Dalam waktu dekat akan diupayakan pertemuan dengan manajemen Youtube, diharapkan setelah adanya pertemuan tersebut akan diperoleh kejelasan terkait dana unclaim yang terkumpul di platform Youtube tersebut.
Sekedar informasi, regulasi terkait dengan Royalti atas penggunaan lagu dan/atau musik di Indonesia sudah cukup lengkap dan baik. Dimulai dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP Nomor 56 Tahun 2021”) sampai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“Permenkumham No 9 Tahun2022”). Regulasi-regulasi tersebut ini sudah mampu memberikan kejelasan mengenai mekanisme pembayaran royalti termasuk siapa-siapa saja yang wajib membayarnya.
“Jadi mengapa tingkat kepatuhan membayar royalti di Indonesia sangat rendah sedangkan peraturannya sudah sangat komplit? Ternyata faktor utamanya adalah karena penerapan hukum untuk menciptakan kepatuhan tersebut membutuhkan biaya besar dan waktu sangat lama . Dan ini yang menjadi kesulitan LMKN selama ini, ” lanjut Johnny Maukar Atas dasar itu LMKN mengusulkan agar pada revisi undang-undang hak cipta (RUU Hak Cipta) nanti, diharapkan ada suatu mekanisme penyelesaian masalah-masalah pembayaran royalti dalam bentuk semacam peradilan sederhana dan cepat.
“Sebagai alternatif maka LMKN mengusulkan agar kasus royalty ini masuk dalam peradilan sederhana. Hal ini sebenarnya sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman: peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana mengandung arti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat, asas yang bersifat universal, berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas cepat ini terkenal dengan adagium ‘justice delayed, justice denied’ ,” lanjut Johnny Maukar lagi.
Apa yang diusulkan oleh LMKN mendapat respon positif dari Dirjen KI, bahkan Dirjen KI siap bersama-sama dengan LMKN membangun ekosistem dan tata kelola royalt musik yang lebih baik kedepannya, termasuk soal revisi UUHC No.28 Tahun 2014.
Dalam pertemuan tersebut, LMKN menetapkan target ambisius penghimpunan royalti lagu dan/ atau musik sebesar Rp. 126 miliar pada tahun 2025. Hal ini akan menaikkan pencapaian lebih signifikan dari pencapaian Rp. 77 miliar di tahun 2024, yang merupakan rekor tertinggi sejak berdirinya LMKN. “Target yang ingin dicapai LMKN di tahun 2025 sekitar Rp 126 miliar,” kata Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (16/1/2025). “Jadi ini semua tidak ‘ngasal ya, ada hitung-hitungannya,” sambungnya. Penggunaan teknologi dalam proses lisensi menjadi strategi utama LMKN untuk mencapai target royalti yang sudah ditetapkan pada 2025.
Melalui pengembangan sistem tata kelola royalti berbasis IT, diharapkan dapat meminimalisir ‘distrust’ yang terjadi di antara LMKN, LMK-LMK, Pengguna Komersial, dan para Pemilik Hak. LMKN berkomitmen penuh untuk menerapkan teknologi dalam proses penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti atas pemanfaatan lagu dan/atau musik.
Dalam proses penghimpunan royalti kategori live event, LMKN coba melakukan pemutakhiran Sistem Lisensi Online Kategori Live Event ke versi 02 yang memudahkan Pengguna Komersial dalam proses pendaftaran dan meningkatkan aspek transparansi kepada publik. “Fitur partisipasi publik dari EO, artis, dan masyarakat lain untuk dapat memberikan informasi atas kegiatan yang sedang berlangsung di seluruh Indonesia. Terdapat fitur pengawasan yang ditujukan pemangku kepentingan yang berwenang yang ingin melihat pendapatan royalti dari kategori live event,” paparnya. Sementara dalam proses penghimpunan royalti kategori background music seperti hotel dan restoran, LMKN mengembangkan teknologi player khusus dengan fitur yang memungkinkan agar data penggunaan lagu yang digunakan dapat diterima secara langsung untuk keperluan distribusi yang transparan.
“LMKN juga berupaya untuk terus proaktif dalam bekerja sama dengan lembaga- lembaga dan asosiasi-asosiasi terkait di dalam ekosistem musik termasuk pengguna komersial dari lagu dan atau musik agar memiliki kesadaran yang tinggi serta taat dalam melakukan kewajibannya membayar royalti public performing rights,” tutur Dharma.















